Ujian Saat Duka
Di tengah kehilangan saudara tercinta dan kesibukan training kenaikan eselon, Sesilia Sri Murniati, seorang anggota Komunitas YANA, menghadapi ujian hidup yang penuh air mata, doa, dan perjuangan. Kisah nyata sekaligus kesaksian iman ini bukan sekadar tentang duka, tetapi juga tentang bagaimana Tuhan hadir melalui dukungan anak-anak, sahabat, dan komunitas doa. Dari rasa pesimis hingga kemenangan yang tak terduga, pengalaman ini meneguhkan iman bahwa kasih Tuhan selalu nyata, bahkan di saat paling sulit.
Sesilia Sri Murniati
11/23/20252 min read


Selasa, 8 Juli 2025, setelah doa pagi, aku membaca pesan WA bahwa koko-ku yang dirawat di ICU sudah berpulang. Aku terdiam sejenak, menghadapi kenyataan bahwa saudaraku satu-satunya telah pergi.
Di malam terakhirnya, aku diizinkan bertemu dan menemaninya walaupun jam besuk sudah lewat. Aku berbisik pelan,“Maaf ya, nggak bisa merawatmu dengan baik. Lepaskan pengampunan buat orang-orang yang pernah menyakitimu. Terus bilang dalam hati, Yesus kasihanilah aku, Yesus ampunilah aku.” Terus akuulang kata-kata itu di telinganya dan air mata kami jatuh bersamaan. Entah dia dengar atau tidak, tapi aku percaya kata-kata itu sampai ke hatinya. Aku pamit dengan memberi berkat salib pada dahinya.
“Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur.” (Matius 5:4)
Aku bergegas menuju RSPAD untuk mengurus administrasi dan pemindahan jenazah ke rumah duka. Di tengah kesibukan mengurusi semuanya, sebenarnya hari itu bertepatan dengan hari pertama training kenaikan eselon yang sudah dijadwalkan. Dua hal penting dalam waktu bersamaan yang harus aku hadapi dengan perasaan yang bertolak belakang. Aku mengikuti training via zoom dengan kamera yang dimatikan. Dengan earphone aku mendengarkan materi training sambil mondar-mandir mengurus keperluan rumah duka dan terima tamu.
Besoknya, koko-ku dikremasi dan pelepasan di laut. Syukur, sebelum naik kapal, aku sudah dipanggil trainer untuk menyelesaikan sesi zoom.
Hari selanjutnya, aku mencoba berkonsentrasi penuh mengikuti training, mengingat ujian sudah dekat. Saat menjalani ujian tertulis, aku merasa pesimis dengan hasilnya. Setelah itu, fokusku beralih ke persiapan ujian lisan yang mengharuskan aku membuat presentasi.
Masalahnya, aku benar-benar tidak bisa membuat Power Point, apalagi Canva. Sempat terlintas pikiran untuk bayar orang saja agar cepat beres. Tapi putra sulungku yang masih kelas 7 menahan, “Mami ngga usah bayar orang, biar koko ajarin aja. Yang simpel bisa kok.”
Akhirnya, dengan sabar dia mengajariku step by step sampai aku bisa menyusun presentasi. Dukungan juga datang dari teman-teman satu tim di kantor, sehingga aku merasa tidak sendirian menghadapi ujian ini.
Aku sangat terharu atas dukungan kedua putraku, mereka sangat membantuku. Saat training offline, aku harus berangkat duluan sebelum mereka ke sekolah. Aku pesankan ojek online setelah sampai bus, untuk mereka berangkat sekolah. Bertepatan dengan hari pertama mereka masuk kelas baru, mereka jalan sendiri tanpa komplain. Malam hari, kami selalu sempatkan berdoa bersama untuk kelulusanku.
Kami berdoa dengan perantaraan Beato Carlo Acutis, agar aku bisa paham digitalisasi dan bisa bikin presentasi dengan baik. Di waktu yang sama juga pas sedang diadakan novena besar St. Antonius Padua. Selesai misa kami panjatkan “doa yang indah kepada St. Antonius” dengan ujud agar dapat tenang dalam membawakan presentasi, dan semoga hati para penguji disentuh Tuhan untuk bisa mengerti maksud yang kupaparkan.
“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” (Filipi 4:13)
Hari H ujian lisan, aku tenangkan diri dengan makan es krim sambil nyanyi lagu pujian. Dan benar, semua mengalir lebih lancar dari perkiraanku.
Esok harinya pengumuman kelulusan keluar. Puji Tuhan, aku lulus. Nilai ujian tertulis memang jeblok, tapi tertolong banget sama nilai presentasi sehingga total nilai lebih dari cukup.
Setelah semuanya selesai, di saat kedua putraku sudah lelap, aku memuji Tuhan dengan air mata yang tak terbendung. Tersadar bahwa selama proses training, aku sibuk sekali sampai ga sempat berduka atas kepergian koko-ku. Tapi, di balik semua ini, Tuhan tunjukkan betapa mandirinya kedua putraku, betapa banyak teman yang mendukung, dan betapa sungguh Tuhan ngga pernah biarkan aku sendirian.
“Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.” (Ibrani 13:5)
Refleksi :
Kehilangan koko, kesibukan training, dan perjuangan ujian jadi pengalaman yang meneguhkan imanku. Tuhan hadir lewat setiap dukungan kedua putraku, sahabat, dan doa yang menyertai.
Aku belajar, meski dalam duka dan tekanan, Tuhan tetap pegang kendali. Di setiap langkah yang terasa berat, selalu ada pelukan kasih-Nya yang meneguhkan.
Solo Dios Basta.
Ingin bergabung sebagai anggota?
Jika Anda seorang single mom katolik berusia maksimal 60 tahun, baik yang suaminya meninggal dunia atau pun telah bercerai dari suami dan memiliki atau tidak memiliki anak, serta rindu untuk bertumbuh dalam iman dan kehidupan berkomunitas, juga mau belajar saling melayani, Anda dapat bergabung bersama Komunitas YANA. Langkah pertama, silahkan isi biodata dengan klik kotak di bawah ini:
Let's get connected
© created and developed by Fanny Rahmasari. 2024. All rights reserved.